Selasa, 17 Mei 2011

Insipirasi

Ini ada satu cerpen buatanku, ini ada yang diambil dari salah satu impianku *ups
emang cerpennya kayaknya agak panjang karena terlalu semangat ngetiknya. mudah-mudahan cerpen ini menarik untuk dibaca, dan yang penting hikmah dan inspirasi yang dapat diambil
selamat membaca! :)

Aku

Namaku adalah Langit, kini aku bekerja di salah satu perusahaan besar di Amerika sebagai Presiden Direktur. Aku adalah seorang insinyur teknik elektro lulusan Massachusetts Institute of Technology, Amerika. Tak pernah kusangka kalau aku akan bisa menjadi seperti sekarang ini, cita-cita yang awalnya ku kira tak akan pernah menjadi kenyataan. Aku tidak lahir dari keluarga yang bergelimang harta, sebaliknya aku lahir di tengah keluarga yang selalu kekurangan. Ayahku adalah seorang petani yang setiap hari hanya bekerja mengolah lahan milik seorang yang kaya di desaku, sedang ibuku adalah seorang penjual jamu keliling. Jangankan untuk sekolah, untuk makan tiga kali sehari saja sudah susah. Aku sudah tidak sekolah lagi sejak aku kelas 5 Sekolah Dasar karena aku harus membantu orangtuaku mencari uang tambahan dengan menjadi kuli angkut di desaku dan menjaga kelima adikku. Aku tinggal di sebuah desa terpencil di daerah Jawa Barat, desa Suka Maju. Desaku ini sangat asri dan tenang, penduduknya ramah dan suka bergotong-royong sehingga membuatku betah tinggal di sini. Tetapi, tentu saja fasilitas di desa ku tak selengkap di kota. Ayahku selalu mengatakan kepadaku, kelak bila aku sudah besar aku akan melanjutkan pekerjaan ayah sebagai petani sawah dan aku hanya bisa menganggukkan kepala melegakan perasaan ayahku.

Ini berawal saat seorang yang dermawan membangun sekolah di desaku, sekolah itu bernama “Harapan Insan”. Gedungnya sangat bagus dan fasilitasnya lengkap sekali. Mulai dari kelas dengan meja dan kursi yang termasuk mewah, komputer dan dilengkapi sambungan internet, lapangan olahraga yang luas, serta fasilitas-fasilitas lain. Warga-warga desa sangatlah penasaran dengan gedung mewah yang tiba-tiba muncul di tengah desa kami yang tidak pernah terjamah hal-hal mewah seperti sekarang. Aku berkata kepada orangtuaku, “Bapak, Ibu, Langit ingin sekali sekolah lagi. Dan Langit ingin sekolah di sekolah yang baru dibangun di desa kita ini. Boleh ya?”. “Kamu ya! Dasar anak tidak tahu diuntung! Sudah bagus kita bisa makan, sekarang pakai meminta sekolah segala. Uang dari mana Langit?”, bentak ayahku. Aku hanya bisa menundukkan kepala. Setelah ayah pergi, ibu mencoba menenagkan hatiku, “Nak, lupakan saja ya kata ayahmu tadi, mungkin ayahmu tadi hanya emosi berkata seperti itu. Ibu sangat mendukung bila kamu ingin sekolah lagi, tetapi kita belum ada rezeki sampai sekarang. Lebih baik sekarang kita mencoba menyisipkan uang untuk biaya sekolahmu saja. Bagaimana?”. “Iya, Bu”, jawabku sambil memeluk ibu. Kini aku semakin bersemangat untuk mengumpulkan uang sekolahku.

Saat aku sedang mengangkut barang, barang-barang itu tidak sengaja ku jatuhkan semuanya dan barang-barang itu ternyata menindih seseorang. Seketika itu aku langsung menyingkirkan barang-barang dari tubuh orang tersebut. Ternyata yang orang yang tertimpa tadi adalah seorang laki-laki yang usianya sudah tua tetapi masih terlihat gagah dan tampaknya ia adalah orang yang baik. “Bagaimana keadaan Bapak? Apakah ada yang sakit?”, tanyaku penuh kewas-wasan karena takut dimarahi. “Ah, sedikit. Tapi tidak apa-apa, Nak.”, jawabnya sambil tersenyum. “Aduh, Pak. Maafkan saya ya, Pak. Saya sungguh tidak sengaja”, timpalku. “Saya sudah memaafkanmu, Nak. Omong-omong nama adik siapa ya? Saya Firman”, ajaknya berkenalan. “Saya Langit, Pak”, jawabku. Pak Firman bertanya, “Nak Langit, apakah kamu bersekolah?”. “Tidak, Pak. Saya sudah putus sekolah sejak saya kelas 5 SD. Tapi sekarang saya sedang mengumpulkan biaya untuk bersekolah di Harapan Insan, saya ingin sekali bersekolah lagi.”, ceritaku. “Lho, apakah Nak Langit ini belum tahu kalau sekolah di Harapan Insan tidak terkena biaya?”, tanya Pak Firman terkejut. Aku sangat kaget mendengarnya dan sontak aku menjawab, “Tidak, Pak. Subhanallah, ini kabar bagus buat saya Pak. Dengan begitu, saya tidak perlu menunggu lebih lama lagi untuk bersekolah. Terima Kasih banyak ya, Pak Firman.”. Aku langsung berlari pulang ke rumah dan Pak Firman berteriak kepadaku, “Sama-sama, Nak!”. Sesampainya di rumahku yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang sudah reot dan bocor dimana-mana, dengan nafas terengah-engah aku menghampiri ibuku yang sedang memasak. “Langit, ada apa denganmu? Kenapa kamu terlihat sangat terburu-buru?”, tanya Ibu. Sambil tersenyum aku menjawab, “Langit punya kabar yang bagus sekali, Bu.”. “Apa itu, Nak?”, tanya ibuku penasaran. “Begini, Bu. Tadi Langit saat mengangkut barang, tidak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki tua dan dia berkata kalau bersekolah di Harapan Insan itu tidak dikenakan biaya, Bu.”. “Alhamdulillah. Terima kasih, Ya Allah! Engkau telah memberi jalan bagi hambamu ini”, ucap ibu sambil memelukku. Aku memberi usul, “Ibu, apa tidak sebaiknya kita segera memberi tahu ayah tentang ini?”. “Sebaiknya nanti saja saat ayahmu pulang dari sawah baru kita beri tahu. Agar menjadi kejutan”, saran ibu. Aku hanya mengangguk dan tersenyum lebar.

Setelah ayah pulang sehabis bertani aku langsung menghampri ayah, “Ayah, ayah! Coba tebak aku punya berita apa untuk ayah?”. “Apa?”, tanya ayah dengan nada yang menunjukkan kelelahan. “Hmm… Begini, Yah. Tadi siang saat Langit mengangkut barang, tidak sengaja Langit menjatuhkan barang-barang itu dan menimpa seorang laki-laki. Awalnya Langit kira laki-laki itu akan marah, ternyata tidak. Setelah kami mengobrol cukup lama, dia memberitahu kabar yang sangat bagus, Yah!”. “Ya sudah buruan! Apa katanya?”, jawab ayah tak sabar. “Iya, iya. Sabar, Yah. Dia memberitahu kalau sekolah Harapan Insan tidak mengenakan biaya bagi muridnya.”, aku perjelas. Tiba-tiba ayah berdiri dan membentak, “Sekolah lagi, sekolah lagi! Kamu hanya memikirkan diri kamu sendiri. Siapa yang mau membantu orangtuamu ini mencari tambahan uang dan menjaga adik-adikmu kalau kamu sekolah?”. Aku mencoba membujuk, “Tapi, Yah. Langit kan sekolahnya hanya sampai jam 12 siang, jadi sepulang sekolah Langit bisa melanjutkan bekerja dan mengurus adik-adik.”. “Tidak mungkin sempat! Kamu pasti selalu mendapatkan tugas harian dari sekolahmu, jadi kamu pasti lebih mementingkan tugas sekolahmu itu.”, jawab ayah dan langsung masuk ke kamar. “Bagaimana ini, Bu? Sudah jelas sekolah di Harapan Insan itu bebas biaya, tetapi kenapa ayah tetap bersih keras supaya aku tidak sekolah?”, keluhku. “Sabar, Nak. Ibu selalu mendukung kamu. Bagaimana kalau kita besok ke Harapan Insan untuk daftar?”, kata ibu. “Bagaimana dengan ayah, Bu?”, tanyaku. “Kita pikirkan nanti lagi saja, yang penting kamu mendaftar sekolah dulu.”. Lagi-lagi ibu mampu menenangkanku.

Esok paginya, saat ayahku sudah pergi terlebih dahulu ke sawah, aku dan ibu bersiap-siap mencari kelengkapanku untuk mendaftar sekolah. Betapa senangnya hatiku hari ini, tak kusangka hari ini pun tiba. “Ibu sudah siap belum? Langit sudah siap, Bu.” aku masih menyisir rambut memastikan aku tampak rapi saat ke sekolah. Ternyata ibu sudah siap lebih dulu daripada aku, “Iya, Nak. Ibu sudah siap di depan.”. “Baik, Bu! Aku akan segera ke sana.”, aku bergega meninggalkan kamar. Syukurlah adik-adik masih tertidur pulas, sehingga mereka tidak rewel kalau kami tinggal. Aku dan ibu sudah tiba di sekolah dan aku langsung bertanya kepada salah satu satpam sekolah, “Permisi, Pak. Saya di sini ingin mendaftar sekolah, tempat pendaftaran ada di mana ya?”. “Di ruang guru, Dik. Adik tinggal lurus, belok kiri. Ruang guru ada di sebelah kanan.”, jawab satpam dengan ramah. “Terima kasih, Pak!”, tanpa basa-basi lagi, aku dan ibu bergegas ke ruang guru. “Wah, sekolah ini bagus sekali ya, Nak!”, kata ibu saat menuju ke ruang guru. Koridor dengan lorong yang panjang, air conditioner dimana-mana, lantai yang kinclong, dan harum dari semprotan pengharum ruangan menemani kami menuju ruang guru. “Iya, Bu. Fasilitasnya lengkap pula.”, balasku. Ibu mengetuk pintu, “Assalamu’alaikum!”. “Wa’alaikumsalam! Silakan masuk, Bu!”, jawab seorang guru dari dalam ruangan. Aku dan ibu masuk dan dipersilakan untuk duduk, “Silakan! Kenalkan, nama saya Ahmad. Ada yang bisa saya bantu?”. “Begini, Pak. Anak saya, Langit ingin mendaftar di sekolah ini.”, lalu ibu mengeluarkan berkas-berkasku dari dalam tas. “Kebetulan saya yang menangangi penerimaan siswa baru di sekolah ini. Saya lihat berkas-berkasnya dulu ya. Oh iya, silakan diisi formulirnya.” Pak Ahmad menyerakan formulir pendaftaran kepada ibu. “Ternyata adik sudah putus sekolah sejak kelas 5 SD. Berarti adik sekarang harusnya kelas 1 SMA ya?”, tanya Pak Ahmad setelah selesai membaca berkas-berkas yang kuserahkan. Dan aku hanya bisa menjawab, “Iya, Pak.”. “Begini Nak Langit, sekolah kami belum menyediakan bangku SMA, jadi kalau mau Nak Langit harus menempuh Sekolah Menengah Pertama terlebih dahulu. Dan agar tamat SD, adik bisa ambil program paket. Bagaimana?”, jelas Pak Ahmad. Aku bingung sekali harus menjawab apa, “Ibu, bagaimana ya enaknya?”. Ibu menjawab, “Kan kamu sendiri yang ingin sekolah, jadi apapun resikonya harus kamu ambil yang penting kamu bisa sekolah.”. Ibu ada benarnya juga. Aku ingin sekolah, jadi apapun resikonya harusku terima. “Baik, Pak. Saya tetap mau sekolah di sini.”, jawabku sambil bernafas lega. “Berhubung sekolah ini tidak memerlukan test dalam penerimaan siswa, jadi Nak Langit bisa langsng bersekolah minggu depan. Selamat, Nak Langit telah menjadi bagian dari sekolah ini.”, kata Pak Ahmad. “Terima Kasih, Pak Ahmad”, ucapku dan ibu. “Sama-sama, Nak”. Alhamdulillah, akhirnya aku mulai sekolah lagi. Tak sengaja saat ku menoleh, ada seorang laki-laki berjas yang masuk ke dalam ruang guru. Sepertinya aku kenal, tapi apa pernah aku kenal dengan seorang yang kaya sepertinya? Ah, aku tidak tahu.

Sesampainya di rumah, aku mencoba membaca buku-buku yang ada untuk mengingat pelajaran yang sudah lama sekali tak ku pelajari. Sekarang sudah pukul 5 sore dan ayahpun sudah pulang. “Bu, ayah sudah pulang.”, kataku. “Iya. Sebaiknya kita beri tahu sekarang, biar ibu yang beri tahu.”, ibu berjalan menuju ayah. “Mas, aku ingin memberitahu sesuatu.”, kata ibu. “Apa itu? Jangan bilang tentang sekolah lagi.”, jawab ayah sambil meminum kopi yang sudah disiapkan ibu. “Nah itu dia, Mas. Aku mau memberitahu kalau tadi aku menemani Langit ke Harapan Insan untuk mendaftar Mas. Biayanya gratis dan bebas test, kok.”, jelas ibu yang rada takut kalau dimarahi ayah. “Huuuuh! Biar aku beri pelajaran itu anak!”, ayah berdiri dan menuju ke arahku dan aku hanya bisa menunduk. Ibu seketika menarik tangan ayah dan berkata, “Yah, jangan! Bagaimana kalau kita buat kesepakatan saja?”. Ayah kembali duduk, “Kesepakatan bagaimana?”. “Langit akan tetap bekerja dan menjaga adik-adiknya meskipun ia sekolah. Langit tetap akan bekerja setiap harinya sepulang sekolah dan memastikan adik-adiknya baik-baik saja. Dan kalau Langit gagal, maka Langit tidak diijinkan bersekolah lagi. Setuju?”,tawar ibu. Ayah berpikir sejenak, “Baik! Langit, kamu harus konsekuen dengan perjanjian ini.”. Ya Allah, aku bisa tidak ya bertanggung jawab dengan keputusan yang aku ambil. Tak apalah, aku yakin aku bisa!

***

Hari Senin, ini hari pertamaku masuk sekolah. Rasanya nervous karena sekian lama tidak sekolah, kini aku bisa merasakan lagi bagaimana rasanya sekolah. Ruang kelas yang indah, rapi, meja dan kursi yang terbuat dari kayu yang sangat kokoh, air conditioner, dan bau cat temboknya yang masih tercium menandakan kelas ini baru, semuanya sangat jauh berbeda ketimbang ruang kelasku saat sekolah dulu. Bel jam pertama dimulai dengan pelajaran Matematika, gurunya bernama Pak Ringgit. “Nama saya Ringgit Ariyanto, saya di sini akan mengajarkan kalian matematika. Sekarang giliran kalian memperkenalkan diri satu-persatu.”. Kami disuruh memperkenalkan diri dengan format nama dan asal sekolah. Bagaimana ini? Aku saja belum lulus SD. “Saya Langit Angkasa dari SD …”. “SD mana, Nak?”, tanya Pak Ringgit. Aku menelan ludah dan mulai berbicara, “Saya sebenarnya putus sekolah sejak kelas 5 SD, dan sekarang saya sedang mengambil program paket agar lulus SD”. Sontak seisi kelas tertawa, pastinya mereka menertawakanku. Biarlah, buat apa aku malu? Aku seharusnya bangga bisa sekolah lagi.

Tetapi setelah dilihat-lihat, mengapa mereka tampaknya bukan orang yang berasal dari golonganku? Mereka terlihat berasal dari keluarga kaya. Kalau sekolah ini gratis, mengapa mereka bersekolah di sini ya? Ya sudahlah, aku tak mau berburuk sangka kepada mereka. Bel istirahatpun berbunyi, aku hanya duduk di kelas dan membawa bekal yang dibawakan ibu karena aku tidak punya uang untuk jajan di kantin sekolah. Kulihat di luar ada teman sekelasku yang sedang menagis, Nuri namanya. Aku tak tahu mengapa ia menangis, lantasku hampiri ia. “Hai, kawan! Mengapa kamu menangis? Kenalkan ya, namaku Langit”, aku telah memberikan tangan padanya, mengajaknya berkenalan. “Aku tidak apa-apa, kok. Oh iya, aku Lisa. Salam kenal ya.”, Lisa mencoba menghapus air matanya dan menjabat tanganku. Aku lihat ada luka lebam disekitar lehernya dan pipinya. “Itu apa?”, tanyaku sambil menunjuk ke arah lukanya. Tangan Lisa langsung menutupi lukanya dan berkata, “Oh, bukan apa-apa kok.”. Lisa langsung berlari ke arah toilet perempuan. Bel masuk berbunyi, pelajaran berikutnya adalah IPS. Sesungguhnya aku tidak terlalu suka pelajaran ini, karena menurutku untuk menghafalnya sangat sulit. Kemampuan menghafalku tidak begitu baik. Guru IPS-ku bernama Bu Titin, ia sangatlah bersahabat, cara mengajarnyapun juga berbeda dari guru IPS lainnya. Syukurlah sekarang aku sudah bisa membiasakan diri dengan sekolah ini. Sepulang sekolah, aku memastikan keadaan adik-adik baik-baik saja. Aku membuatkan mereka makanan dan susu. Setelah beres mengurus adik, aku bergegas ke tempat biasa di mana aku bekerja sebagai kuli panggul.

Hari Selasa, hari ke-2 bersekolah. Aku lagi-lagi melihat laki-laki yang pernah kulihat saat aku mendaftar sekolah. Karena aku penasaran, aku coba saja tanya kepada Pak Ringgit, “Pak, siapa laki-laki itu ya?”. Pak Ringit menjawab, “Oh, itu kan pemilik sekolah ini. Memangnya ada apa ya Nak Langit bertanya seperti tu?”. Apa? Pemilik sekolah ini? Berarti tak mungkin aku pernah kenal dengan orang sekaya itu. Saat istirahat, aku berjalan di lorong sekolah dan menabrak seseorang. Eh, ternyata itu Pak Firman! “Pak Firman? Senang bisa bertemu bapak lagi di sini. Berkat informasi dari bapak, saya bisa sekolah lagi.”, aku menyapa Pak Firman. Dengan wajah sedikit terkejut Pak Firman menjawab, “Eh, iya. Nak Langit, ya? Selamat ya akhirnya kamu bisa bersekolah di sini.”. Karena aku penasaran ku tanya saja, “Terima Kasih, Pak. Oh, iya. Omong-omong, ada perlu apa bapak di sekolah ini?”. Lagi-lagi dengan wajah yang lebih panik Pak Firman menjawab, “Eng, engg, enggak. Saya hanya ada perlu sebentar di sini. Permisi ya, saya harus buru-buru.”. Pak Firman langsung pergi meninggalkan sekolah ini. Tapi kenapa ya Pak Firman harus sepanik itu? Tambah bingung saja aku. Aku tak sengaja melewati ruang BK dan meihat ternyata di dalam ada Lisa. Aku mengintip dari pintu, ingin tahu apa masalah Lisa sebenarnya. “Ibu, bagaimana ini? Saya sudah tidak ingin pulang ke rumah kalau ayah tiri saya selalu memukuli saya seperti ini.”, keluh Lisa sambil menangis. Ibu Titin adalah guru BK juga di sekolah. Ibu Titin menjawab, “Tenang ya, Nak. Saya akan buatkan surat untuk orangtua kamu supaya mereka datang ke sekolah.”. Astaghfirullah, ternyata Lisa sering dipukuli ayah tirinya! Betapa kasihannya Lisa. Kuharap ayah tirinya bisa cepat sadar. Setelah pulang sekolah, kulakukan rutinitas seperti biasanya. Dan begitu saja terus sampai 3 tahun kedepan. Banyak masalah dengan keluargaku yang tidak bisa kuceritakan di sini. Aku sudah banyak sekali belajar di Harapan Insan, dan aku sudah bersahabat dengan Lisa selama ini. Tapi masih ada satu misteri tersimpan, siapakah Pak Firman sebenarnya?

***

Tak terasa kini ku sudah lulus SMP, dan aku ingin melanjutkan ke SMA. Kebetulan, sekolahku mengadakan kerja sama dengan salah satu SMA di Singapura dengan mengadakan jalur beasiswa. Harapan Insan memang sampai sekarang belum menyediakan untuk SMA. Lagi-lagi keberuntungan menghampiriku. Aku lulus test untuk program beasiswa di Singapura itu. Aku ingin sekali berangkat ke Singapura, tapi berat rasanya meningalkan keluarga dan kampung halamanku tercinta ini. Aku pulang ke rumah dan menceritakan kejadian di sekolah barusan, “Ibu, ibu! Langit bawa kabar bahagia, Bu. Langit lulus test program beasiswa ke Singapura.”. Wah, anak ibu memang pintar! Terima kasih ya, Nak. Kamu selalu membuat orangtuamu ini bangga.”, puji ibu. “Ah, ibu bisa saja. Ini kan berkat support dari ibu juga. Tapi, apakah untuk kali ini ayah mau mengijinkan Langit mengambil program beasiswa itu?”, aku khawatir ayah tidak mengizinkanku untuk yang satu ini. Ibu juga tampak bingung, “Ya sudah, nanti kita diskusikan dengan ayah.”. Matahari sudah terbenam, ayah sudah di rumah. Saat makan malam aku mulai ceritakan tentang ini. “Ayah, Langit lulus test program beasiswa ke Singapura untuk melanjutkan ke SMA. Langit boleh tidak berangkat ke Singapura?”, aku deg-degan mendengar jawaban ayah. Ayah yang tersedak menjawab, “Uhuk.. uhuk.. Apa? Kamu mau ke Singapura? Kalau yang kemarin ayah masih izinkan karena kamu masih bisa mengurusi adik-adikmu. Nah, kalau yang ini? Kamu kan jauh sekolahnya, Nak. Tidak, pokoknya tidak ayah izinkan!”. Aku mencoba untuk membujuk ayah, “Ayolah ayah. Langit janji, Langit akan bekerja di sana. Langit akan mencari pekerjaan yang bayarannya jauh lebih besar ketimbang Langit bekerja di sini, dengan begitu ibu tidak perlu berkeliling berjualan jamu dan bisa menjaga adik-adik di rumah. Bagaimana?”. “Boleh juga ide kamu! Tapi kamu harus bisa menjaga kepercayaan ayah, ya.”, jawab ayah. “Terima kasih, Yah.”, aku memeluk ayah dengan erat. Dengan seizin ayah, minggu depan aku berangkat ke Singapura, dan yang membuat aku lebih senang ternyata Lisa juga melanjutkan SMA ke sekolah yang sama denganku.

Setiba di Singapura, aku merasa kaget dengan suasana yang 180 derajat berbeda, sempat aku cukup stress dengan keadaan baruku ini. Aku sangat merindukan keluargaku dan kampung halamanku, tak jarang aku menangis tiap malam karena rindu pada mereka. Tapi luka itu bisa terobati dengan adanya telepon sehingga aku tetap bisa berkomunikasi dengan keluarga dan teman-teman di kampung. Aku bersekolah di Ju Ying Senior High School, dan aku bekerja sebagai pelayan di restoran. Hasilku bekerja di restoran akan kuberikan kepada keluargaku di Indonesia, hasilnya ternyata lumayan sekali jadi ibu bisa berhenti berjualan jamu. Hari pertama, aku mulai mencoba membiasakan diri dengan adat yang berbeda dan berkenalan dengan teman-teman di kelasku yang rata-rata dari etnis tionghoa. Lagi-lagi aku melihat sosok laki-laki yang tidak asing lagi bagiku yaitu Pak Firman! Aku semakin bingung kenapa dan untuk apa Pak Firman bisa sampai ke sini. Aku coba mencari informasi, tetapi orang-orang selalu mencoba menutupi identitas Pak Firman. Hari ke hari, waktu ke waktu, aku tetap mencoba mengorek-ngorek informasi. Setelah informasi yang kudapatkan cukup lengkap, baru ku sadari bahwa Pak Firman adalah pemilik sekolah Harapan Insan! Dan yang lebih membuat aku terkejut, ternyata biaya sekolah di Harapan Insan tidak gratis malah sangat mahal. Ia membuat supaya biaya sekolah di Harapan Insan bisa dibebaskan khusus untukku! Aku bergegas mencari Pak Firman karena aku ingin mengucapkan terima kasih. Kutemukan Pak Firman di ruang Kepala Sekolah, “Pak, saya sudah tahu semuanya dan saya mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan bapak kepada saya. Saya tak tahu bagaimana membalas budi bapak.”. “Akhirnya ketahuan juga kalau saya yang membuat ini semua. Iya, sama sama. Tidak perlu kamu membalas budi kepada saya, karena saya ikhlas melakukannya.”, jawab Pak Firman dengan tenang. Aku ingin bertanya lagi, “Tapi, apa motivasi bapak?”. “Kamu kan sudah berhasil membongkar kedok saya, sekarang kamu coba pecahkan misteri itu. Saya tidak mau memberti tahu dari mulut saya, biar kamu yang cari tahu.”. Ini masih sebuah misteri bagiku. Semakin lama, hubunganku dan Lisa menjadi semakin dekat. Mulai tumbuh rasa cinta di antara kamu. Saat kami menginjak kelas 2 SMA, kami menjadi sepasang kekasih.

***

Tak terasa juga kini aku sudah lulus SMA dan aku lulus sebagai murid terbaik di sekolah. Alhamdulillah, setelah aku mencoba banyak test untuk program beasiswa, aku lulus test di universitas teknik terbaik di dunia, Massachusetts Institute of Technology, Amerika dengan jurusan teknik elektro. Lisa ternyata juga berkuliah di sana, tetapi ia mengambil jurusan teknik informatika. Itu adalah universitas yang selalu aku impi-impikan selama ini. Ya Allah, berkah selalu datang bertubi-tubi untuk hamba. Bersekolah di sana memang tidak mudah, persaingan yang ketat dengan anak-anak terpilih dari seluruh dunia.

Aku lulus dari MIT sebagai murid cumlaude! Tak kusangka ternyata aku bisa sampai di titik ini. Setelah lulus, aku langsung ditarik oleh perusahaan Microsoft untuk bekerja di sana sebagai tenaga ahli. Gaji pertamaku sangatlah besar, sudah bisa untuk dibelikan 1 unit rumah. Dan aku membelikan rumah untuk keluargaku di Bandung, aku meminta keluargaku untuk segera pindah ke Bandung. “Ibu, aku sudah belikan rumah di Bandung untuk ibu.”, aku menelepon ibu. Ibu menjawab, “Untuk apa kamu belikan rumah untuk ibu? Lebih baik uangnya untuk kamu saja. Tapi, berhubung kamu sudah membelikan ibu rumah, ibu hanya bisa mengucapkan terima kasih. Ibu sangat rindu sama kamu, Nak. Kapan kamu pulang?”, jawab ibu. “Sama-sama, Bu. Oh iya, aku juga sudah menyiapkan segala sesuatunya sehingga tahun depan ibu dan ayah bisa naik haji. Tenang, Bu. Aku minggu depan akan pulang, aku juga rindu sekali dengan keluarga di Indonesia.”. Alhamdulillah, aku juga sudah bisa menaikkan haji orangtuaku. Kini Lisa bekerja di perusahaan Apple, tapi hubunganku dan Lisa sudah semakin serius. Kami berencana untuk segera menikah 2 bulan kemudian, karena itu aku dan Lisa pulang ke Indonesia untuk meminta doa restu orangtua kami.

Setibanya aku di Indonesia, aku langsung mengabarkan rencana pernikahan aku dan Lisa. “Ibu, ayah. Aku dan Lisa berencana akan menikah 2 bulan lagi, aku meminta doa restu ayah dan ibu.”, kataku kepada orangtuaku. Orangtuaku hanya bisa bertatapan dan tersenyum, “Kamu sudah dewasa, Nak. Lisa adalah wanita pilihanmu, kami yakin Lisa adalah perempuan yang tepat untukmu.”. Tiba lah hari pernikahan kami, aku sangat bahagia karena akhirnya bisa menikah dengan wanita pilihanku.

***

Sekarang usia pernikahan kami sudah hampir 5 tahun, kami sudah memiliki 2 anak, Eka Angkasa dan Dwi Angkasa. Aku dan keluargaku kini tinggal menetap di Amerika karena harus mengurusi pekerjaanku kini. Tapi kami tidak akan melepas kewarganegaraan Indonesia dari diriku, karena aku cinta Indonesia dan aku adalah bagian dari Indonesia. Keluarga kami sangatlah bahagia, aku berharap supaya pernikahan kami akan selalu langgeng. Alhamdulillah, aku sangat tidak menyangka kalau akhirnya aku bisa menjadi seperti sekarang ini. Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena tanpa ridho dari-Nya, tidak mungkin aku seperti ini. Terima kasih aku ucapkan untuk ibu, yang selalu memberi support, ayah, adik-adik, Lisa, dan terutama Pak Firman. Tapi kini misteri tentang apa motivasi Pak Firman melakukan semua itu belum juga terpecahkan, itulah yang masih menghantui pikiranku.

Penulis:
Vania Fitryanti Herlambang

Selesai sudah cerpennya :)
Mohon maaf bila ada kesalahan teknis (tulisan di akhir paragraf menjadi miring padahal tidak di italic) dikarenakan kegaptekan saya.
Terima kasih sudah membaca!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar